Ringkasan Laporan Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2019 Oleh Komnas Perempuan
KEKERASAN MENINGKAT: KEBIJAKAN PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL UNTUK MEMBANGUN RUANG AMAN BAGI PEREMPUAN DAN ANAK PEREMPUAN
Komnas
Perempuan dengan metode kerja sama, mengirimkan formular kuesioner, pengolahan
data pengaduan secara langsung serta menyajikan tambahan data dari mitra, dapat
melakukan pemetaan laporan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang
diterima dan ditangani oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi
Masyarakat Sipil, Pemerintah, Kepolisian, Pengadilan dan pengaduan langsung
yang diterima oleh Komnas Perempuan baik melalui Unit Pengaduan Rujukan (UPR)
dan email resmi, hingga data catatan tahunan 2020 terkumpul dengan baik.
Pada metode pengiriman formular ke lembaga mitra layanan, tiap tahunnya dikirim dala jumlah yang berbeda. Pada tahun ini, tingkat respon pengembalian formular naik sebesar 35%. Namun, ada juga beberapa kendala yang perlu diperhatikan dalam pengembalian formulir seperti kondisi keberlangsungan lembaga mitra, pemahaman atas pengisian, ada atau tidaknya SDM di lembaga dan tingkat kebutuhan lembaga mitra terhadap pendokumentasian dan pengolahan data.
Pada diagram ditunjukkan bahwa sumber data CATAHU hampir meliputi seluruh Indonesia, meskipun dengan adanya keterbatasan-keterbatasan. Pulau Jawa menjadi pulau tertinggi yang menunjukkan ketersediannya dalam infrastruktur dan tenaga untuk pendokumentasian dan keberanian masyarakat dalam melapor kepada lembaga layanan pemerintah. Sehingga dapat disimpulkan, tingginya angka tersebut belum tentu menunjukkan banyaknya kekerasan di pulau tersebut. Dan bagi angka rendah, sangat memungkinkan jika di pulau/provinsi tersebut kurangnya lembaga tempat korban melapor, ketidakpercayaan korban terhadap lembaga atau rasa tidak aman jika melapor. Selain itu, adanya catatan khusus mengenai kondisi keamanan yang buruk di Papua dan menguatnya isu rasial. Hal ini menjadi catatan penting dalam perhatian pemerintah yang lebih lagi baik di Papua, Wilayah Timur Indonesia lainnya dan daerah-daerah terluar di Indonesia.
Berdasarakan
data yang telah diterima, dalam kurun waktu 12 tahun kekerasan terhadap
perempuan telah meningkat sebanyak 729%. Jenis kekerasan yang paling menonjol
ialah KDRT/Ranah Personal yang mencapai 75% (11.105 kasus). Ranah ini selalu
konsisten menimpati angka tertinggi dalam 5 tahun terakhir dan tidak sedikit
diantaranya mengalami kekerasan seksual. Dalam jenis kekerasan seksual di ranah
komunitas, pada tahun ini pelaku dengan angka tertinggi berasal dari orang yang
tidak dikenal. Dan pada ranah negara tahun ini sebanyak 12 kasus, meskipun
sedikit namun beberapa kasus ini tetap perlu diperhatikan.
Dalam
beberapa kasus, ada kekerasan yang berujung pada perdagangan orang. Modus yang
digunakan pun terus berkembang dan saat ini yang diketahui ialah pengantin
pesanan (mail online bride) dan perdagangan orang secara daring (TPPO).
Modus pengantin pesanan ini cukup menarik perhatian dan diungkap oleh
Kementrian Luar Negeri RI sepanjang 2019 telah jatuh korban sebanyak 40 orang
yang telah direptriasi dari China ke Indonesia.11 kasus lainnnya diterima langsung
oleh Komnas Perempuan atas laporan yang diberikan korban dan organisasi yang
mendampinginya, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Salah
satu kasus yang telah menjadi isu serius yang menarik ditengah masyarakat ialah
Femisida. Tindakan ini membunuh perempuan karena dia/korban adalah perempuan.
Masih banyak yang menyederhanakan tindakan ini, termasuk media. Padahal tindak
kejahatan ini dapat dikatakan sebagai kejahatan yang keji baik dari motif dan
pola pembunuhannya hingga dampak terhadap keluarga. Sepanjang tahun 2019,
terdapat 145 kasus yang telah diberitakan oleh media daring. Dari data yang
diolah, ditemukan kesimpulan bahwa Sebagian besar kasus femisida dilakukan oleh
suami terhadap istri. Belum adanya solusi yang tepat dari pemerintah membuat
kasus ini terus meningkat.
Pada
tahun 2019 terdapat kenaikan angka dispensasi yang dikabulkan Pengadilan Agama
sebesar 85%. Ini angka yang dilaporkan dan masih ada kemungkinan terdapatnya
pernikahan anak yang tidak dilaporkan. Kenaikan bisa disebabkan karena sudah
berlakunya keputusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review atas menaikkan
usia pernikahan menjadi 19 tahun.
Kekerasan
terhadap Perempuan di Indonesia cenderung konsisten mengalami peningkatan. Seperti
yang kita ketahui, perempuan sebagai korban pun berasal dari berbagai kelompok,
bai kia perempuan biasa, perempuan yang tergolong dalam minoritas seksual,
rentan diskriminasi (HIV/AIDS), pembela HAM dan disabilitas. Hal ini mengarah
pada kehidupan perempuan Indonesia yang keamanannya tidak terjamin bahkan
tiadanya perlindungan. Semakin lama, fenomena ini bisa dikatakan menjadi budaya
yang menguat dalam masyarakat. Disisi lain, terdapat peningkatan juga terhadap
keberanian korban untuk melapor. Untuk itu, sistem dan lembaga yang bertugas menerima
layanan pengaduan atau pelaporan korban baiknya ditingkatkan serta didukung
baik oleh pemerintah dan masyarakat.
Pada
tahun ini, tercatat di CATAHU bahwa UPPA (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak)
salah satu lembaga yang berada dibawah kepolisian mendapatkan urutan pertama
dalam penerimaan laporan sebanyak 4.124 kasus. Hal ini menyatakan bahwa
masyarakat membutuhkan lembaga atau institusi legal yang memiliki perlindungan
hukum yang yang kuat. Pada kasus yang di proses di Pengadilan Negeri banyak
mengalami kemandegan, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan terhambat
padahal lembaga kepolisian telah tersebar hingga tingkat kecamatan agar mudah
dijangkau. Dari itu, kesenjangan jumlah kasus yang ditangani kepolisian tapi
tidak sampai ke tahap pengadilan sangat besar, terutama pada kasus Kekerasan
dalam Rumah Tangga.
Dari
laporan pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2019 telah
menerima pengaduan sebanyak 1.419 kasus. Jumlah ini mengalami peningkatan dari
tahun sebelumnya. Terdapat 142 kasus yang tidak ditindaklanjuti karena tidak
berbasis gender dan hanya minta atau memberi informasi/klarifikasi atau bahkan
tidak teridentifikasi. Meskipun demikian, hal ini menunjukkan harapan
masyarakat yang besar terhadap Komnas Perempuan untuk bisa menyelesaikan kasus
yang dihadapi dan makin tinggi kesadaran masyarakat untuk berani melaporkan
kasus kekerasan baik yang dialaminya sendiri maupun dilingkungannya serta
masyarakat yang butuh sarana untuk didengar dan direspon atas peristiwa yang
dialaminya.
Beragam bentuk kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2019 yang terdapat dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 diantaranya masih terdapat beberapa kasus yang belum diperhatikan dengan baik diantaranya mengenai laporan inses (pelaku adalah anggota keluarga korban), kekerasan dalam pacaran dan kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang meningkat sampai 300% (dari 97 kasus menjadi 281 kasus) pada tahun ini. Hal ini menjadi perhatian kita bersama baik pemerintah maupun masyarakat, untuk menjamin keamanan dan kehidupan yang baik bagi perempuan untuk tinggal dilingkungannya sendiri. Agar tidak ada lagi ancaman yang besar yang dirasakan oleh perempuan dimanapun mereka berada.
Sumber: Catatan Tahunan 2020 Komnas Perempuan
Terima kasih artikelnya kak
BalasHapus